Pada abad ke 18, air mineral terkarbonasi secara alami (naturally effervescent atau naturally carbonated spring water ) menjadi popular di eropa karena kepercayaan masyarakat akan dampak kesehatan yang baik. Pada tahun 1767 di Inggris, Joseph Priestly menemukan cara menginfusi gas CO2 kedalam air dengan menggunakan gas hasil fermentasi bir. Sejarah kemudian menyebutkan pada awal abad ke 19, air putih berkarbonasi sudah mulai dipasarkan secara komersil dan luas hingga mencapai india pada tahun 1822. Produk minuman ringan bersoda dengan perisa (carbonated soft drink) dimulai dengan pembuatan ginger ale di Irlandia pada tahun 1851. Minuman ringan berkarbonasi terus berkembang menawarkan berbagi rasa, warna dan aroma hingga kini industry minuman ringan tersebut menghasilkan USD 291 milyar pada tahun 2010 dan diperkirakan dapat meningkat hingga USD 310 milyar pada tahun 2015.
Mulai dari tahun 1972 hingga 2002, konsumen amerika serikat mengalami peningkatan masalah obesitas yang diduga berhubungan dengan meningkatnya asupan minuman ringan yang manis. Obesitas sering diikuti oleh diabetes mellitus dan komplikasi penyakit turunannya yang merupakan penyakit yang kompleks, sulit untuk ditentukan satu faktor penyebab utamanya. Penyakit tersebut sangat erat sekali kaitannya dengan perubahan gaya hidup yang mengurangi aktifitas tubuh. Banyak penelitian epidemologi yang menunjukan korelasi antara konsumsi minuman ringan bersoda dengan penyakit-penyakit tersebut, namun sulit sekali untuk diperoleh hubungan sebab-akibat yang konklusif.
Ingridien minuman berkarbonasi selain karbon dioksida (CO2), beberapa diantaranya adalah gula, zat pengasam dan perisa. Jika dugaan kandungan gula dalam minuman ringan menjadi contributor masalah obesitas, bagaimana dengan pengaruh karbonasi terhadap kesehatan konsumen yang gemar meminum minuman ringan berkarbonasi?
Sebuah study literature secara sistematik yang dilakukan oleh tim SEAFAST Centre IPB bertujuan untuk mengetahui mengetahui hubungan antara soda (CO2) yang terdapat dalam minuman ringan dengan berbagai penyakit, termasuk peluang timbulnya penyakit tersebut.
Metodologi Systematic Review
SEAFAST Center melakukan studi literatur secara sistematik terhadap referensi dari berbagai publikasi (jurnal) ilmiah di seluruh dunia. Metode penelitian yang digunakan adalah berbasis Systematic Review, dimana para peneliti secara sistematis memasukan kata kunci (search) yang berkaitan dengan karbonasi pada minuman dan efeknya terhadap kesehatan ke dalam artikel-artikel ilmiah, untuk kemudian secara spesifik dikerucutkan pada berbagai hasil studi klinis terhadap manusia selama 10 tahun terkahir di negara-negara dengan tingkat konsumsi minuman berkarbonasi yang tinggi. Metode Systematic Review ini umumnya memang digunakan sebagai acuan penelitian untuk membahas sebuah topik tertentu dan kemudian dapat dipakai sebagai acuan arah penelitian selanjutnya.
Karbonasi Pada Minuman
Karbonasi merupakan proses dari karbon dioksida (CO2) yang dimasukan ke dalam cairan dengan tekanan tinggi, sehingga menghasilkan gelembung dalam minuman dengan cita rasa “menggigit” atau “krenyes”. Karbon dioksida yang digunakan pada proses karbonasi pada dasarnya sama dengan gas alam yang kita keluarkan saat bernafas dan dihirup oleh tanaman saat proses respirasi. Penggunaan CO2 dalam minuman telah dimulai sejak abad ke-18 di Inggris. Metode ini kemudian diaplikasikan oleh para produsen minuman ringan berperisa untuk menciptakan sensasi sparkle dan segar.
CO2 (soda) merupakan bahan yang aman digunakan pada produk minuman. Hasil kajian JECFA (Join Expert Committee on Food Additive) menetapkan bahwa ADI (Acceptable Daily Intake) untuk CO2 adalah “not specified”, dengan demikian hal ini menunjukkan tidak adanya kekhawatiran resiko mengenai penambahan CO2 dalam minuman. Badan POM, menetapkan bahwa CO2 merupakan bahan pengkarbonasi yang juga diijinkan penggunaannya pada produk minuman untuk membentuk karbonasi pada produk makanan dan minuman.
Pada kesempatan media Talkshow yang di adakan oleh ASRIM dengan tema “Mengupas Fakta tentang Karbonasi dalam Minuman Ringan” Prof. Made Astawan narasumber yang merupakan pakar nutrisi dan food technology dari Institut Pertanian Bogor menyampaikan: “Minuman bersoda akan tetap ‘mengigit’ atau ‘krenyes’ selama kemasannya belum dibuka. Menariknya, saat tertelan, ternyata sebagian besar karbonasi dalam minuman bersoda sebenarnya tidak sampai di lambung karena sebagian besar gas menguap ketika kemasan dibuka. Gelembung yang tersisa dalam minuman akan segera diserap melalui dinding saluran pencernaan. Dan, jumlah yang diserap oleh tubuh tersebut relatif sangat kecil dibandingkan dengan jumlah karbon dioksida yang dihasilkan tubuh kita secara terus menerus secara alami saat kita menggunakan energi”
Efek Karbonasi Terhadap Kesehatan
Studi literatur yang dilakukan oleh SEAFAST Center mengerucutkan fokusnya pada 3 (tiga) jenis penyakit yang sering salah dipersepsikan oleh masyarakat sebagai dampak mengkonsumsi minuman ringan berkarbonasi, yakni kesehatan gigi, reflux gastroesofagus, serta kanker esofagus (kerongkongan).
- KARBONASI DAN KESEHATAN MULUT. Berdasarkan hasil riset menyatakan bahwa faktor karbonasi tidak dapat dijadikan penyebab tunggal kerusakan gigi yang terjadi. Studi klinis menunjukan bahwa rusaknya enamel gigi lebih disebabkan karena faktor bawaan dari seseorang yang memiliki tingkat keasaman air liur yang tinggi. Jika tingkat keasaman tinggi menjadi penyebab kerusakan gigi, maka yang perlu diperhatikan adalah keasaman tinggi tersebut juga terdapat pada produk makanan dan minuman lain yang tidak berkarbonasi. Menjaga kesehatan gigi adalah merupakan faktor penting terhadap kesehatan gigi.
- KARBONASI DAN KESEHATAN LAMBUNG. Berdasarkan bukti ilmiah, tidak ditemukan adanya korelasi antara karbonasi dalam minuman dengan kesehatan saluran cerna. Faktor yang menyebabkan penyakit tersebut sangat kompleks sehingga tidak bisa disimpulkan minuman ringan berkarbonasi menyebabkan terjadinya penyakit-penyakit tersebut.
- KARBONASI DAN KANKER ESOFAGUS (KERONGKONGAN).
Temuan terakhir hasil penelusuran literatur oleh Tim SEAFAST Centre adalah beberapa artikel medis terkini yang memusatkan perhatian pada dampak lebih lanjut penyakit GERD (gastro esophageal refluks desease), yaitu meningkatnya resiko timbulnya kanker esofagus atau kerongkongan (esophageal cancer). Kanker esofagus dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti kebiasaan merokok dan minuman beralkohol. Salah satu penyebab utama kanker adalah refluks esofagus secara berulang dan kronis, dimana asam lambung yang naik kembli ke kerongkongan dapat menyebabkan peradangan atai inflamasi pada permukaan sel dan jaringan permukaan, sehingga memicu pertumbuhan kanker.
Studi yang dilakukan di amerika serikat pada tahun 2006 mengamati 488 pasien kanker esofagus untuk menentukan apakah terdapat hubungan konsumsi minuman karbonasi dengan peningkatan resiko kanker tersebut. Hasil yang didapatkan menandakan tidak ada kaitan antara karbonasi dengan kanker esofagus yang nyata, dan sebaliknya berkolerasi negatif. Hasil pengamatan tersebut didukung oleh hasil studi yang dilakukan di Italia pada tahun 2007 dengan pengamatan terhadap 304 pasien kanker esofagus. Pada studi inipun terlihat tidak ada hubungan antara resiko kanker esofagus dengan konsumsi minuman ringan berkarbonasi. Studi lainnya seperti yang dilakukan di Swedia (2006) dan Australia (2008) kembali menegaskan hasil yang tidak menemukan keterkaitan konsumsi minuman berkarbonasi dengan kanker esofagus. Semua studi mengulang kesimpulan bahwa faktor lainnya seperti merokok dan obesitas perlu dikurangi, disertai peningkatan konsumsi buah-buahan dan sayuran untuk mencegah munculnya penyakit kanker esofagus.
Pingback: KENAPA ANE MASIH MINUM KOKA KOLA? | FITRIA KURNIAWAN (ABU FAHD)